Pengikut

Sabtu, 17 November 2012

Cerita para pekerja rumah tangga di saudi

Sudah hampir dua tahun Sanib waswas menunggu kepulangan Rukayah dari Saudi. Semakin hari dia semakin waswas saja manakala menonton berita-berita di televisi tentang nasib para TKW di Arab Saudi. Kabar dari ibu Rukayah bahwa anaknya itu di sana mendapat majikan yang baik tetap saja tidak mampu menenangkan gejolak hati Sanib. Bukan hanya karena rasa rindu kepada pacarnya itu saja yang membuat Sanib gelisah, tetapi juga hari-hari kepulangan Rukayah, seperti yang sudah direncanakan, sudah semakin dekat, sementara dia belum juga mendapat pekerjaan tetap untuk bekal berumah tangga, seperti yang sudah direncanakan sebelum Rukayah berangkat ke luar negeri. Sambil menghitung bulan, Sanib menyaksikan satu per satu perempuan di kampungnya berangkat untuk bekerja di luar negeri. Rukayah hanyalah satu di antara sekian puluh gadis di kampungnya yang mengikuti gadis-gadis sebelumnya, mengadu nasib di negeri orang. Tidak banyak pekerjaan yang bisa didapatkan oleh gadis seperti Rukayah, yang hanya lulusan SMP; makanya, sejak sepuluh tahun yang lalu Rusmini, perempuan pertama di kampung yang menjadi TKW, pulang dari Saudi dengan membawa banyak uang yang bisa digunakannya untuk membangun rumah baru, gadis-gadis seperti Rukayah tergiur untuk mengikuti jejak janda beranak satu itu. Dan benar saja. Setelah rumah baru milik Rusmini, bermunculan rumah-rumah baru lainnya yang dibangun dari hasil bekerja di Arab. Sulastri, setelah empat tahun bekerja akhirnya mampu membongkar rumah lama yang ditinggali kedua orang tuanya beserta saudara-saudaranya itu dan membangun rumah baru yang lebih bagus dan modern. Asih berhasil membangun rumah baru, yang meskipun kecil dan sederhana tetapi tetap saja lebih bagus, di lahan samping rumah orang tuanya; kabarnya rumah itu akan ditinggalinya bersama calon suaminya. Bahan-bahan bangunan juga mulai berdatangan di rumah orang tua Lilis. Dan banyak lagi perubahan yang terjadi di kampung Sanib semenjak para perempuan di kampung itu berangkat satu per satu ke Arab. Rusmini sendiri kini bertindak sebagai sponsor atau penyalur para perempuan kampung itu. Kepada Rusmini-lah Sanib sering kali menanyakan perihal Rukayah, karena pacarnya itu berangkat ke Saudi lewat prakarsa Rusmini, yang bersama suami barunya kini menghuni rumah besar di tengah-tengah kampung yang sekaligus dijadikan kantornya. Rusmini minta cerai dari suami lamanya, yang dianggapnya hanya bisa duduk ongkang-ongkang kaki sementara dirinya bekerja membanting tulang di negeri orang, kemudian menikahi seorang duda dari desa tetangga, seorang juragan garmen, yang dianggapnya cukup layak untuk mendampinginya sebagai orang kaya baru di desanya sendiri. Sebelum keberangkatan Rukayah ke Arab, Sanib sebenarnya sudah berniat melamar gadis itu. Waktu itu dia cukup percaya diri dengan pekerjaannya sebagai buruh jahit celana jins di salah satu perusahaan konfeksi. Waktu itu pasaran celana jins lagi ramai-ramainya sehingga pesanan terus mengalir. Namun, Rukayah bersikukuh dengan keinginannya untuk pergi ke Arab terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menikah dengan jejaka yang telah memacarinya sejak lulus SMP itu. Waktu itu Rukayah sudah dua tahun bekerja serabutan, mulai dari penjaga kios di pecinan, sampai tukang bordir pakaian wanita. Dengan alasan bahwa kepergiannya ke Arab bisa untuk menambah modal berumah tangga nantinya, Sanib pun dengan berat hati merelakan Rukayah berangkat. “Kamu harus sabar, Nak. Gadis-gadis di desa ini sudah menganggap kurang afdal menikah kalau belum bekerja di Arab. Meski tidak semua yang bekerja di sana bisa pulang membawa uang banyak, tapi mereka tetap saja nekat ingin pergi. Seolah-olah, kalau belum merasakan dan menyaksikan sendiri negeri Arab itu, mereka tidak mudah percaya begitu saja cerita orang-orang,” demikian kata ibu Sanib menasihati anaknya, melihat Sanib murung selama beberapa hari setelah kepergian Rukayah. Konotasinya Saudi adalah Negara Los Angles, demikian ungkapan dalam bahasa Arab asal-asalan yang menjadi semboyan para perempuan itu. Meskipun, perkataan ibu Sanib memang benar, tidak semua yang sudah bekerja di Arab pulang membawa banyak uang dan berhasil membangun rumah baru. Muryati, sepupu jauh Sanib bahkan pulang dari Arab dengan tangan kosong, karena dia mendapat majikan yang suka marah-marah dan main pukul. Baru beberapa bulan bekerja di sana, dia sudah beberapa kali kena pukul majikannya, sampai akhirnya dia tidak tahan dan kabur dari majikan. Beruntung Muryati masih bisa pulang ke Indonesia, meski keluarganya harus mengeluarkan ongkos untuk menjemputnya dari Jakarta ke kampung. Selain Muryati, ada juga Minah. Nasib Minah bahkan lebih parah, dia hampir saja diperkosa oleh anak majikannya. Beruntung dia bisa melarikan diri dan melapor ke kedutaan. Namun, keluarga majikan Minah bersikeras tidak mau mengakui dan malah menuduh bahwa Minah-lah yang menggoda anak majikannya. Minah bersikeras tidak mau bekerja lagi kepada majikan itu dan memilih untuk minta pulang kampung meski tanpa membawa uang gaji sepeser pun, karena gaji beberapa bulan pertamanya habis dipungut oleh agen yang memberangkatkannya. Setelah beberapa bulan tinggal di kampung, dia kembali berangkat ke luar negeri, kali ini ke Malaysia. Ada juga yang bahkan tidak sempat berangkat ke luar negeri, malah terkatung-katung di penampungan selama berbulan-bulan seperti Yati, anak bungsu pedagang warung nasi tempat Sanib biasa mengutang kalau sedang tidak punya uang. Selama berbulan-bulan tidak ada kabar setelah keberangkatannya ke Jakarta, orangtua Yati mengira anaknya sudah diberangkatkan ke Arab. Nyatanya, pada suatu malam Yati mengetuk pintu rumah orangtuanya dan menangis tiba-tiba. Setelah cukup tenang, Yati bercerita kalau selama ini dia ditelantarkan oleh PJTKI di sebuah penampungan di Jakarta. Juga, berita-berita di televisi itu, tentang perdagangan manusia berkedok penyaluran tenaga kerja, dan kasus- TKW yang terancam hukuman pancung di Arab, tetap tidak menyurutkan niat para perempuan di kampung itu untuk mengadu nasib di sana. Negeri Arab seolah menjadi tempat suci yang wajib dikunjungi sekali seumur hidup. Karena mereka tidak mampu untuk berhaji, maka menjadi TKW pun tidak masalah, asalkan bisa menginjakkan kaki di negeri para nabi. Memang di antara para perempuan kampung itu yang bekerja di Arab, belum ada satu pun yang pernah terkena kasus pembunuhan ataupun penganiayaan sampai-sampai kasusnya heboh di televisi. Di satu sisi itu sebuah keberuntungan, tetapi di sisi lain itu juga semakin membuat para perempuan kampung itu tidak takut untuk mengadu nasib. Bagi mereka, contoh kemalangan-kemalangan itu tidak akan berguna apa-apa jika bukan orang-orang dekat mereka, atau setidaknya orang yang mereka kenal, yang mengalaminya sendiri. Sementara itu, di antara para perempuan di kampung yang pernah ke Arab, masih lebih banyak yang berhasil daripada yang tidak. “Kamu berdoa saja semoga Rukayah pulang bawa uang banyak buat biaya pernikahan dan berkeluarga nanti. Itu kan juga bagus buatmu, Nak, daripada nanti kamu sendirian yang pontang-panting cari nafkah buat Rukayah. Dia itu gadis baik-baik, mau bantu cari uang buat calon suaminya,” demikian kata ibu Sanib, berusaha menenangkan kegelisahan anaknya. Kabar yang diterima Sanib dari Rusmini, Rukayah bekerja di sebuah keluarga baik-baik. Dia pun secara rutin mengirimkan sebagian gajinya kepada orangtuanya. Berkali-kali Rusmini juga meyakinkan Sanib bahwa Rukayah baik-baik saja, dan pasti akan pulang jika kontraknya sudah selesai. Dia menyuruh Sanib agar bersabar, dan jangan percaya begitu saja dengan berita-berita di televisi. Berita-berita itu tidak semuanya benar, terkadang berita-berita itu dibesar-besarkan biar heboh, demikian kata Rusmini. Tetap saja itu semua belum bisa melenyapkan kegelisahan Sanib, jejaka yang sedang dirundung rindu kepada pacarnya yang jauh itu. Bahkan, sempat tercetus niat untuk menyusul Rukayah ke Arab, tentu saja setelah dia bertanya-tanya kepada Rusmini tentang kemungkinan dirinya bisa bekerja di sana. Sayangnya Sanib tidak bisa menyetir mobil, padahal, andai saja Sanib bisa, kemungkinannya akan lebih besar, karena kebanyakan tenaga kerja laki-laki, peluang kerja yang dibutuhkan di Arab adalah sopir. Sanib pun melenggang meninggalkan Rusmini di kantornya dengan kegelisahan yang tetap saja menggelayuti pikirannya. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi manakala dia mendapat kabar dari orangtua Rukayah kalau gadis itu tidak berkirim kabar selama sebulan terakhir, juga dia tidak berkirim uang yang biasanya rutin tiap bulannya. Bahkan, sampai pada hari seharusnya Rukayah habis kontrak dan pulang, tetap belum ada kabar. Tekadnya untuk menyusul Rukayah semakin mantap. Mulanya dia mendekati salah seorang temannya yang bekerja sebagai sopir truk pengangkut pasir. Dia bersedia membantu apa saja asalkan dapat kesempatan untuk belajar menyetir. Awalnya Sanib menjadi mandor, kemudian kondektur truk. Sanib belajar setiap malam, seusai truk dipakai untuk mengangkut pasir pada siang harinya. Butuh satu bulan lamanya sampai Sanib dipercaya untuk menyetir truk sendiri mengangkut pasir ke tempat para pembeli. Sedikit demi sedikit, Sanib juga belajar mengemudikan mobil yang lebih kecil. Bulan-bulan berikutnya setelah dia semakin mahir mengemudi, Sanib bekerja kepada Rusmini. Dengan mobil sewaan, bersama Rusmini Sanib mengantarkan satu demi satu perempuan-perempuan di kampungnya, juga kampung-kampung tetangga, yang disponsori oleh Rusmini ke agen-agen di Jakarta. Selama itu pula, Rusmini selalu menghibur Sanib bahwa Rukayah baik-baik saja dan akan segera pulang. Kegelisahan Sanib sudah agak berkurang, karena kini dia sudah bisa mengemudi, setidaknya itu bisa menjadi modal untuk mencari pekerjaan layak nantinya. Meskipun, belum juga ada kabar pasti tentang Rukayah. “Siapkan dokumen-dokumenmu, Nib. Aku baru dapat kabar dari agen kalau banyak lowongan buat sopir di Saudi,” kata Rusmini pada suatu ketika. Sanib menyambutnya dengan semangat. Sayangnya Sanib belum sempat membuat SIM. “Enggak apa-apa. Itu bisa diatur nanti. Kamu punya uang berapa?” Sanib menghitung uang simpanan yang selama ini dikumpulkannya yang jumlahnya tidak seberapa. Rusmini mengernyitkan dahi. “Enggak masalah. Hitung-hitung aku bantu kamu. Aku pinjami dulu kekurangannya. Nanti setelah kamu dapat gaji, kamu harus lunasi ya.” Sanib tidak sabar menunggu hari keberangkatannya ke Sa. Seudilama itu, dia sering berkunjung ke rumah orangtua Rukayah, mencoba menenangkan mereka, bahwa Sanib, calon mantu mereka akan menyusul putri mereka ke Arab dan menjemputnya pulang. Sanib bahkan sudah mempertimbangkan untuk adanya kemungkinan menikah dengan Rukayah di Arab setelah berhasil menemui pujaannya itu. Malam sebelum keberangkatannya ke Jakarta, Sanib berada di puncak kegelisahan. Dia tidak bisa memejamkan mata, hanya bisa berbaring menghadap ke sana kemari bergantian, telentang dan tengkurap. Bermacam posisi sudah dicobanya tetapi belum juga matanya terpejam. Dia deg-degan membayangkan dirinya akan terbang ke Arab untuk bekerja di sana, terutama, untuk mencari keberadaan Rukayah. Dan alasan dari semuanya memang Rukayah. Andai saja Rukayah pulang lebih cepat. Dia membayangkan, kelak pertemuannya dengan Rukayah di negeri padang pasir itu seperti pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa di padang Arafah, dari jauh keduanya berlarian saling mendekat di atas permukaan pasir. Sanib tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. Selepas Subuh dia baru bisa memejamkan mata, itupun hanya beberapa saat, karena paginya dia harus bersiap-siap berangkat bersama Rusmini yang akan mengantarnya ke Jakarta. Sewaktu Sanib hendak mampir ke rumah orangtua Rukayah untuk berpamitan, dia melihat ada keramaian kecil di depan rumah tersebut. Beberapa tetangga berkumpul di depan pintu. Sanib penasaran. Dia bergegas mendekat dan berusaha melihat ke dalam rumah dari balik punggung orang-orang. Sekilas dia melihat wajah Rukayah. Dia tidak memercayai penglihatannya. Dia memanggil nama Rukayah dan menyeruak masuk. Beberapa orang tetangga berusaha menghalanginya seiring suara jeritan Rukayah yang menghilang masuk ke dalam rumah. Sanib merangsek ke dalam rumah, lalu ke dalam kamar menyusul Rukayah meskipun sudah dihalang-halangi oleh kedua orangtuanya. Di kamarnya itulah Rukayah duduk tertunduk malu sambil menutupi kedua wajahnya. Ada apa, Rukayah? tanya Sanib. Perut Rukayah yang membulat mulanya tidak tertangkap mata Sanib. Baru setelah Sanib duduk di samping Rukayah dan gadis itu sambil terisak membimbing tangan Sanib untuk merabanya, Sanib membeku, seolah tersetrum aliran listrik tegangan tinggi. Sanib kelu. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan dan dilakukan sewaktu Rukayah bercerita singkat bahwa ayah dari janin dalam kandungannya itu adalah seorang sopir taksi di Arab, tenaga kerja dari Indonesia.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan